"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (al-Baqarah: 183)
Barangkali ayat di atas adalah ayat yang paling populer selama Bulan Ramadan. Para penceramah agama (dai), ustaz, dan kiai, ketika mereka berceramah dalam berbagai kesempatan selalu mengutip ayat tersebut. Sampai-sampai ada kesan kurang lengkap ceramah seseorang ketika tidak mengutip ayat tersebut. Apa sebetulnya yang menjadikan ayat tersebut begitu penting untuk disampaikan. Bukankah banyak ayat lain yang juga terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa?
Secara umum, banyak penafsir yang memosisikan ayat tersebut sebagai ayat perintah diwajibkannya pelaksanaan ibadah puasa bagi orang-orang Islam. Jadi perintah puasa secara verbal disampaikan oleh Allah melalui ayat tersebut dan karena ayat inilah kaum Muslim di mana pun wajib melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Dalam tulisan ini, saya akan menyoroti tiga makna lain yang sangat relevan dengan pelaksanaan ibadah puasa. Pertama, ayat tersebut menggunakan kata panggil (mukhâtab) “orang-orang yang beriman” bukan “orang-orang Islam”. Mengapa yang diundang untuk berpuasa adalah mereka yang beriman? Bukankah ibadah puasa wajib untuk seluruh orang Islam?
Dari sini Allah seperti sengaja memberikan hadiah puasa hanya untuk orang-orang yang beriman. Allah juga secara implisit membedakan antara orang-orang beriman dan orang-orang Islam. Artinya tidak semua orang Islam itu juga beriman. Ini barangkali yang dikenal sebagai Islam KTP, alias beragama Islam, tetapi benih keimanan tidak tumbuh baik dalam dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari, mudah kita jumpai seseorang yang memeluk agama Islam bukan berasal dari pilihan hatinya. Ada yang masuk Islam karena calon istri/suaminya beragama Islam, ada yang ber-Islam karena faktor keturunan atau hanya sekadar cari aman. Keimanan merupakan kelanjutan dari ke-Islaman. Seseorang yang beriman berarti dalam dirinya sudah tumbuh benih-benih keimanan kepada Allahh SWT. Bisa saja seseorang ber-Islam, namun benih keimanan belum tumbuh optimal. Tidak heran jika kita jumpai mereka meski beragama Islam, tetapi tidak berpuasa atau menunaikan kewajiban-kewajiban agama lainnya.
Ini alasan mengapa Allah hanya “memanggil” orang-orang yang beriman saja. Dalam diri “orang-orang yang berimanlah panggilan puasa akan disambut dengan sukacita. Mengingat yang dipanggil dalam puasa adalah orang-orang khusus, maka Allah pun memberikan pahala yang juga spesial (wa anâ ajzî bihi).
Kedua, perintah puasa tidak semata hak eksklusif orang-orang Islam, karena ternyata perintah yang sama pernah juga diwajibkan kepada orang-orang sebelum Islam. Secara tidak langsung Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari sejarah, karena lewat sejarahlah umat Islam dapat mempersiapkan hari esok dengan lebih baik lagi (faltandzur nafsun mâ qadamat lighadd).
Dengan mempelajari sejarah, umat Islam akan mengerti bahwa senantiasa ada gap antara Islam yang normatif sebagaimana termaktub di dalam ayat-ayat suci Alquran dan Islam yang historis senantiasa terejawantah dalam kehidupan masyarakat di sepanjang masa. Islam yang normatif bersifat mutlak kebenarannya, sedangkan Islam yang historis bersifat relatif, karena senantiasa berada di dalam ruang dan waktu. Anjuran Allah untuk mempelajari sejarah--termasuk sejarah agama-agama lain--akan mendorong pikiran terbuka dan pasti mendorong peradaban manusia sejagat.
Ketiga, di dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa tujuan dari ibadah puasa, yaitu untuk mendorong lahirnya manusia yang bertakwa. Ini adalah tujuan tertinggi dari puasa. Jadi puasa tidaklah bertujuan semata-mata untuk kebutuhan fisikal, seperti kesehatan atau melangsingkan badan, lebih dari itu ibadah puasa adalah sekolah rohani untuk mendidik kita agar dapat menjadi orang-orang yang bertakwa. Takwa dalam artian sebenarnya, yaitu hidup dengan internalisasi nilai-nilai ke-Tuhan-an dalam diri kita. Semoga di hari-hari sepertiga terakhir bulan puasa ini, kita dapat meraih ketakwaan sebagaimana Allah janjikan.
0 komentar:
Posting Komentar